Sabtu, 12 Mei 2012

Stigma Masyarakat terhadap Praktek perbankan syari’ah di Indonesia

Saat ini hampir tidak ada transaksi perekonomian yang bebas sama sekali dari riba. Mulai dari transasksi yang berbentuk klasik seperti penyimpanan uang baik yang berhubungan dengan bank yang berbentuk tabungan dan deposito, maupun yang behubungan dengan para tengkulak dan lintah darat berupa pinjaman berbunga, sampai yang bentuknya mutakir dan melibatkan transaksi derivative, seperti saham, pasar uang, perbankan hingga ke usaha perdagangan berbentuk future trading dan leasing.[1]
Praktik riba sudah di kenal sejak munculnya transaksi perdagangan dalam peradaban manusia ribuan tahun yang silam. Jadi hingga saat ini praktik riba bukan lah lagi menjadi sesuatu yang baru di dunia perekonomian.
Berbicara tentang perekonomian, sangatlah erat kaitannya dengan ketahanan suatu Negara. Jika perekonomian itu berada pada stagnan yang baik, bisa di pastikan eksistensi Negara tersebut akan stabil. Namun memasuki zona sistem perekonomian tidaklah semudah yang di bayangkan, sangatlah bervariatif dan berkopetensi. Kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan isme-isme yang lainnya saling beradu kekuatan untuk menarik minat dan perhatian Negara-negara, tak luput Negara tercinta kita sendiri yakni Indonesia. Indonesia menjadi salah satu arena pertarungan system-sistem tersebut, dan system yang keluar sebagai pemenang saat ini adalah sang super star Kapitalisme.[2]

Kita semua telah mengetahui bagaimana kerja system ekonomi kapitalisme, yakni system yang di dalamnya memberlakukan bunga yang jelas di haramkan dalam ajaran islam. Jantung utama dari system bobrok ini adalah riba, dan kedzoliman dari system ini ternyata penyebab dan factor utama terjadinya krisis di dunia.
Hal ini sudah sangat jelas terbukti di awal krisis pertengahan tahun 1997, bank-bank konvensional yang berjantungkan system kapitalisme bertumbangan dan kucar kacir tak karuan. Terpaan krisis moneter saat ini tidak mampu meneguhkan exsistensi mereka sebagai perbankan konvensional yang notabe nya adalah riba.
Kedudukan ekonomi kapitalisme menjadi guncang, kasus ini menyebabkan timbulnya keraguan di antara para ekonom barat tentang kemapanan struktur ekonomi kapitalisme yang mereka bangga-banggakan. Hal ini menunjukan struktur dan system ekonomi kapitalisme memerlukan autopsy (bedah masalah) secara menyeluruh.[3]
Oleh karena itu sudah sepantasnya kita khususnya ummat islam untuk tidak terus menerus mengekor pada system rapuh yang hanya akan membawa Negara dan ummat pada kehancuran besar. Sesungguhnya sudah sejak lama, timbul keinginan besar di kalangan umat islam untuk mengembalikan masa kejayaan perekonomian yang telah berlalu. Malaupun awalnya mereka sendiri resah bagaimana cara menampilkan system ekonomi islam didalam  masyarakat modern yang jelas-jelas frame berfikir mereka sudah terkontaminasi dengan system kapitalisme yang sudah lama bercokol di negeri ini. Tapi itu semua bukan lah sebuah kendala, hanya sebuah batu kecil penghalang jalan yang mudah untuk di singkirkan.
Karena rapuh dan kelemahan serta kekurangan yang lebih menonjol dari  system kapitalisme ini , maka Muncul lah pemikiran dari Negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah islam yaitu system Ekonomi syariah. System yang mampu memberikan solusi yang kokoh dalam merealisasikan perekonomian yang islami yang insya ALLAH mampu membawa Negara serta umat pada kesejahteraan.
Ekonomi syari’ah yang berkembang dewasa ini memiliki semangat yang inklusif. Ekonomi syari’ah harus mampu menyelesaikan masalah-masalah di dalam masyarakat. Kita harus menciptakan model-model bisnis yang dapat membantu perkembangan perekonomian masyarakat dan Negara. Dan tidak bisa di pungkiri, persepsi utama masyarakat umum ketika mendengar kata Ekonomi syariah adalah perbankan syari’ah, dengan demikian perbankan syariah menjadi salah satu motor penggerak ekonomi syariah khususnya di negeri ini.
Pengertian dari perbankan syari’ah itu sendiri menurut UU No.21 tahun 2008 adalah “suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kemasyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”[4]
Sedangkan menurut ensiklopedia islam, bank syari’ah adalah “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at islam”.[5]
Awal mula berdirinya perbankan syari’ah di Indonesia pertama kali pada tahun 1992 dan bank yang pertama bediri adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Keberadaan perbankan syari’ah tersebur mulai dirasakan manfaatnya oleh sebagian masyarakat. Dan sejak saat itu  mulailah menjamur perbankan-perbankan syariah di berbagai daerah di Indonesia.
Perkembangan perbankan syari’ah saat ini melejit sangat pesat, hal ini dilihat dari meningkatnya jumlah kantor bank syari’ah yang telah mencapai1.212 kantor, termasuk Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Selain meningkatnya jumlah kantor perbankan syariah d nusantara, untuk system jaringan, layanan dan Sumber Daya Manusia (SDM) pun mengalami peningkatan. Jumlah pegawai perbankan syari’ah mencapai kurang lebih 14.983, di bandingkan dengan perbankan konvensional yang saat ini berjumlah sekitar 1.894 pegawai. Di sisi layanan, hampir seluruh produk dana bankan syari’ah kini memiliki layanan dan fitur yang tak kalah di bandingkan perbankan konvensional.[6]
Secara rata-rata menurut statistic BI, lending bank syari’ah ke usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di atas 60% sejak bank syari’ah pertama (Bank Muamalat Indonesia) beroprasi di tahun 1992. Sudah banyak pengamat perbankan syari’ah maupun ekonomi mengatakan bahwa bank syariah sudah seperti bank nya UMKM, mereka yang berada lebih dekat dengan garis kemiskinan di banding nasabah kaya atau korporat.[7]
Namun sungguh di sayangkan, diantara berita-berita bagus tentang perbankan syariah Indonesia, kritik masih ada. Kritik misalnya, yang paling sering di dengar datang dari sebuah buku yang berjudul “Tidak Syar’i nya Bank Syari’ah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat” karya pegiat Dinar Dirham Zaim Saidi.[8] Bahkan yang saya anggap stigma juga masih ada, saya coba mengamati pertanyaan yang sering muncul tentang perbankan syariah. Bahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah menjadi stigma  yang selalu di konotasikan negative dan kontraproduktif. Dan adapun stigma-stigma yang muncul secara umum dalam praktek perbankan syariah di antara nya :
  1. Bank syari’ah hanya untuk umat Islam
  2. Margin, nisbah, ataupun bagi hasil dalam perbankan syariah adalah istilah lain dari bunga atau riba yang ada di bank konvensional
  3. Mengutang ke bank syari’ah di anggap lebih mahal cicilan nya  dari pada di bank konvensional
  4. Bank syariah tidak murni syariah karena masih dimiliki oleh bank konvensional hingga disinyalir dana bank syariah bercampur dengan riba dari induknya tersebut
  5. Bank syariah lemah atau terbatas dalam produk, fitur, layanan, dan jaringan
  6. Istilah dalam perbankan syariah sulit dipahami orang
  7. Sumber Daya Manusia di perbankan syari’ah atau bankir syari’ah belum berkualitas sebab masih ada dari mereka yang menjalankan pola pikir atau kerja banker konvensional.
Masih banyak lagi stigma lainnya yang muncul di masyarakat berkaitan dengan praktek perbankan syari’ah di Indonesia.
[1] Abu Fuad,Riba halal Riba haram,Jakarta,Pustaka Thariqul izzah,2011,hal-1
[2]Ruhul Hamasah,Mhuty,Back to sharia Economic(sebuah eksistensi),1 Rabiul akhir 1430H,hal-18
[3] Abu Fuad,op.cit,hal-5
[4] Undang-undang Ekonomi syari’ah,Bandung,Fokus Media,2009,hal-35 pasal
[5] Warkum Sumirto,Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga kredit,Jakarta,Raja Grapindo   Persada,2004,cet-4,hal-5
[6] Sharing,Makin Mudah Berbank Syari’ah,edisi 38 februari 2010, hal-42
[7] Sharing,7 Stigma perbankan syari’ah,Edisi 47 November 2010, hal-10
[8] ibid

0 komentar:

Posting Komentar